Sore di Sanaa Brew selalu punya iramanya sendiri. Lantai atas dipenuhi pekerja kantoran yang mengetik cepat, sementara lantai bawah tetap setia menjadi ruang lega bagi mereka yang ingin rehat sejenak. Aroma espresso bercampur croissant hangat mengisi udara. Suasana tenang, rapi, dan healing—seperti biasanya.
Namun ketenangan itu pecah ketika pintu kaca berderit terbuka. Seorang pria berkaos gym ketat, otot lengannya menonjol, masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tegang, napasnya terengah seperti habis menempuh sprint.
“Mana Andara?!” suaranya menggema sampai ke lantai atas.
Semua kepala sontak menoleh. Abdullah yang baru saja merapikan toples cookies di rak, hampir menjatuhkan tutupnya. Topi khas anak SMA yang tadi dipakainya sejak upacara sampai pulang ikut bergetar. Bang Agus, si barista senior, melirik ke arah bosnya. Dan di balik meja kasir, Bang Andara berdiri, tenang seperti biasa.
“Saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?” suaranya datar, elegan.
Terjadilah basa-basi tegang antara si Gymbro sama Bang Andara, hingga pada akhirnya tiba di tahap kenaikan nada beberapa oktaf. “Jangan pura-pura polos, Kau. Saya udah tau, istri saya sering ke sini gara-gara Kau Jangan main-main sama rumah tangga orang!”
Bisik-bisik mulai terdengar di antara pelanggan. Beberapa menahan tawa gugup, beberapa lagi pura-pura sibuk dengan laptop. Ada juga yang terang-terangan memulai live Tik Tok.
Abdullah melotot, bingung harus maju atau mundur.
Bang Andara tetap berdiri tegak. “Saudara, saya tidak pernah berhubungan dengan istri orang. Kalau beliau sering ke sini, tentu sebagai pelanggan. Itu saja.”
Gymbro itu semakin panas. “Mana mungkin kalau begitu muka Anda ada di galeri hp istri saya!”
Kafe mendadak senyap. Bahkan suara grinder kopi pun berhenti.
Lalu, pintu kaca terbuka lagi. Seorang perempuan masuk, membawa payung masih meneteskan air hujan. Lebih ngos-ngosan dari si Gymbro.
“Mas? Udah!” tanyanya lirih.
Si Gymbro menoleh cepat. “Apa udah?!”
Wajah si perempuan memerah. Ia menunduk, suaranya bergetar. “Itu… itu cuma saya ambil diam-diam. Saya suka konsep kafenya, suka lihat beliau rapi ngatur bar. Itu kagum aja, bukan apa-apa. Saya nggak pernah bilang karena takut disalahpahami.”
Hening. Semua mata berpindah ke arah gymbro, yang kini wajahnya berganti antara malu dan jengkel. Para penonton di Sanaa Brew sekaligus yang di live Tik Tok penasaran dengan reaksi si Gymbro. Denial apa jantan?
Si Gymbro beralih ke istrinya. Rupanya ia masih termasuk mampu mengatasi emosi.
"Jangan pernah datang ke cafe ini lagi! Minum kopi saja di rumah! Ayo, pulang!"
Ia membawa istrinya pergi, bahkan tanpa menoleh ke Andara. Bang Agus udah berencana ingin serang balik, tapi ditahan Bang Andara. Respons wajah Andara meminta Bang Agus untuk membiarkan saja.
"Gara-gara mereka, cafe kita bisa buruk citranya. Noh, banyak yang ngerekam," gerutu Bang Agus.
"Kalau mereka rekam, tentunya juga akan ketahuan adegan terakhir, kan? Sudahlah, bro. Pesanan kopi kita delay, nih. Tidak perlu kita tambah pening kepala ngurus yang beginian."
Abdullah dan beberapa pelanggan entah kenapa menoleh poster yang baru saja di ganti.
‘Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya…’ (QS. An-Nur: 30).”
Pas banget sama moment!
☕ “Kadang, badai bukan datang dari luar, tapi dari pandangan yang tak dijaga.”
Pagi di Kopi Tiam Makmur Jaya selalu penuh riuh. Suara sendok beradu dengan gelas kaca, kipas angin tua berdengung di atas, ditambah teriakan Koh Ah Lek memanggil pesanan.
“Kopi O satu! Teh tarik dua! Nasi lemak jangan lupa timun lebih!”
Nyah Lim di belakang sibuk menggoreng pisang, panas minyak bercampur wangi manis, bikin semua orang rela antre.
Hari itu warung lagi padat. Tukang ojek, pegawai kelurahan, bahkan ibu-ibu arisan numpuk jadi satu. Ramai, tapi damai.
Sampai pintu kayu berderit pelan. Seorang pria berkaos gym ketat masuk. Ototnya kelihatan, tapi wajahnya masih merah padam sisa ribut di Sanaa Brew. Di belakangnya, seorang perempuan membawa payung yang basah, langkahnya tertatih, matanya menunduk.
Gymbro duduk keras di kursi seng, “Ah Lek, kopi hitam satu! Jangan pake gula!”
Koh Ah Lek melirik sebentar, lalu nyahut, “Siap!”
Istrinya duduk diam di samping, tangannya sibuk melipat-lipat tisu. Suasana aneh terasa.
“Kenapa mesti foto-foto orang itu, hah? Kau bikin aku malu besar tadi!” gumam si Gymbro, masih dengan suara setengah tinggi.
Semua meja mendadak hening, kuping jadi antena. Tapi karena ini warung, orang cuma pura-pura sibuk makan roti kaya sambil nguping.
Si istri menelan ludah. Suaranya kecil, “Aku cuma kagum, Mas… Bukan apa-apa. Cuma motret diam-diam.”
Gymbro mendesah keras. “Kalau aku lakukan hal yang sama, apa kau mau? Banyak perempuan di gym yang bisa aku foto diam-diam atau terang-terangan! Kau mau aku begitu juga?”
Koh Ah Lek menaruh cangkir kopi O di depannya. “Ini kopinya," Kok Ah Lek gak berani nanya macam-macam, padahal biasanya suka ikut campur.
Perhatiannya teralihkan ketika ada mobil boks putih. Tiba-tiba naruh kotak berbungkus buble wrap hitam dua gulung. Tak ada tulisan atau alamat. Ukurannya sebesar kardus mi instan. Ketika mobil pergi, Nyah Lim manggil suaminya. Masih dengan nada suara meninggi. Entah marah, entah nanya pesanan, nada suara Nyah Lim serupa.
Kotak itu ditaruh tepat di pojok meja dekat rak roti. Orang-orang langsung saling pandang.
“Siapa pesan barang?” tanya Nyah Lim sambil ngetok sendok ke wajan, minyak masih nyiprat-nyiprat.
Tak ada yang mengaku. Tukang ojek nengok sebentar, lalu pura-pura seruput kopi. Pegawai kelurahan ngelap keringat, seolah lagi sibuk baca koran. Ibu-ibu arisan malah bisik-bisik sambil menahan tawa cekikikan.
Gymbro melirik kotak itu, alisnya berkerut. “Paket siapa tuh? Jangan-jangan bom?” katanya, agak kencang, bikin beberapa pengunjung kaget. Suara sendok berhenti.
Koh Ah Lek langsung nyeletuk, “Eh jangan sembarang cakap! Ini Kopi Tiam, bukan film aksi Hongkong.” Tapi matanya ikut-ikutan curiga.
Gymbro menatap tajam. “Jangan bilang itu dari orang itu yang kau foto tadi?” tuduhnya pada istri. Ia ingat laki-laki yang tadi dimarahinya di cafe, yang mukanya banyak di galeri istrinya, punya ciri-ciri tukang buat bom dan kebab Turki.
Suasana makin panas, padahal kipas angin tua muter makin kencang.
Koh Ah Lek akhirnya maju, dorong-dorong kardus itu dengan kaki. “Eh, siapa pun punya barang ini, cepat ambil. Kalau tidak, saya buang ke tong sampah.”
Tapi kardus itu terasa agak berat. Bukan isi biasa.
Nyah Lim nyeletuk lagi dari dapur, nada suaranya makin meninggi. “Abang, jangan sentuh dulu! Nanti kalau ada apa-apa, siapa yang mau ganti rugi dinding warung ni?”
Nada suaranya bikin Gymbro mendadak terdiam. Entah karena kaget, atau merasa seolah dimarahi istrinya sendiri lewat suara orang lain.
Semua orang kini menunggu. Kotak misterius itu jadi pusat Kopi Tiam Makmur Jaya, lebih panas dari kopi O, lebih riuh dari teh tarik yang ditarik tinggi-tinggi.
“Di kopitiam, bising itu biasa—tapi prasangka bisa bikin lebih ribut dari kipas tua.”