Serial Kehidupan Digital Naya
Jam 7 malam. Listrik padam.
Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah... Naya sedang video call dengan Mas Raihan, dosen IT pelatihan daring yang wajahnya kayak kombinasi introvert misterius dan orang yang suka baca buku di balkon. Dan Naya belum sempat nge-save file tugas final.
Tiba-tiba… gelap. Laptop mati. HP mati. Semesta seperti bilang: "Cie, ngedrop sinyal pas lagi senyum manis."
HP-nya getar:
“Bu Naya, aman? Tadi sempat menghilang... saya kira itu bagian dari transisi dramatis 😅"
Naya membeku. Hilang dengan anggun? Apa aku sinyal atau peri digital?
Dia balas:
“Itu bukan efek khusus, Mas. Itu PLN gabut.”
Beberapa menit kemudian, tetangga kos sebelah—Aldo, si guru olahraga yang biasanya cuma senyum sekilas dan bau minyak kayu putih—tiba-tiba duduk di tangga juga.
Percakapan ngalir dari gosip PLN ke mimpi masa kecil. Tiba-tiba listrik nyala.
“Yah, sinematiknya ilang,” kata Naya.
“Tenang,” kata Aldo, “kamu bisa bikin efeknya sendiri. Gak usah nunggu PLN.”
HP Naya getar lagi:
“Sudah nyala ya? Semoga besok koneksi lebih stabil. Tapi kalau ada dramanya lagi, jangan lupa kasih tahu saya dulu 😃”
Hari itu, Naya hilang dari zoom dan ekspektasi. Tapi ia menemukan kembali jantungnya. Dan ternyata... detak jantung juga bisa menari saat listrik mati.
TAMAT
Hari itu, Naya duduk manis di depan laptop. Ujian online Bahasa Indonesia siap dimulai. 28 siswa standby di Google Meet. Ada yang ngunyah kerupuk, ada yang ganti background pakai gambar Doraemon.
“Anak-anak... siap ya. Soalnya ada di Google Form, kamera nyala semua, dan—”
Tiba-tiba... laptop restart sendiri.
Layar laptop muncul tulisan:
“Sudah terlalu lama kamu cuekin aku. Sekarang aku ambil alih.”
Pointer mouse gerak sendiri.
“Aku muak dipakai cuma buat Google Form dan ngetik ATP. Aku juga punya mimpi.”
Naya panik. Siswa panik. Laptop seolah hidup.
Dia buka laptop cadangan ungu bertuliskan "I Love Semangka" dan join ulang Meet. Satu siswa nyeletuk: “Bu, kok kayak baru keluar dari sinetron?”
Naya nyengir. “Mari kita lanjutkan ujian, sebelum laptop yang ini juga punya keinginan hidup.”
Malamnya, laptop utama nyala lagi:
“Aku minta libur seminggu. Tolong kasih cuti.”
Naya membalas:
“Deal. Asal kamu jangan curi data dan daftar kuliah DKV diam-diam.”
Laptop hening. Mungkin itu artinya setuju.
TAMAT
Suatu malam, Naya sedang rebahan sambil ngetik di Notes, nulis rencana konten buat Google Sites-nya.
Lampu kos redup, kipas muter pelan, dan ada lagu Lo-Fi pelan di latar belakang. Damai. Tenang. Manis.
Tiba-tiba... HP-nya bunyi.
🟢 Aldo Tetangga Kos: “Aku udah nunggu di depan, kamu keluar dong… jangan bikin aku malu.”
Naya melotot.
APAAN NIH?
Nunggu di depan?
Dia cek jam: 20.43.
Dia cek pintu: kosong.
Dia cek hati: deg-degan.
Dalam hati, Naya mikir,
“Oke, ini pasti salah kirim. Tapi... kenapa ke aku? Nama kontakku ‘Naya Kos Kanan’, dan kamu malah curhat kayak drama episode 8.”
Belum sempat ngetik apa-apa, masuk lagi:
🟢 Aldo Tetangga Kos:
“Aku tahu kamu marah. Tapi kalau kamu diem terus, aku nggak tahu harus gimana.”
Naya membeku.
Di seberang sana, mungkin ada seseorang yang merasa sedang membuka hatinya.
Tapi dia justru curhat ke... guru Bahasa Indonesia yang cuma pinjam ember dua kali.
Naya mikir keras:
Kalau aku cuek, nanti kasihan.
Kalau aku jawab, nanti dia kira aku yang dimaksud.
Kalau aku keluar, nanti dia ngira aku ini plot twist cinta sejati.
Kalau aku diem aja... terlalu tidak Naya.
Akhirnya, dia balas:
🟡 Naya:
“Aldo… sepertinya kamu salah kirim. Tapi, aku doakan semoga yang kamu tunggu keluar dan gak bikin kamu malu. 😊”
Beberapa menit hening.
Lalu masuk balasan:
🟢 Aldo Tetangga Kos:
“Yaa Allah, aku malu banget. Maaf Bu Naya! Itu harusnya ke mantan pacarku... yang kamarnya dulu di atas, dan sekarang udah pindah. Aku masih belum ganti nama kontak…”
Naya langsung ngakak.
Bahkan sampe harus nutup mulut pake bantal biar gak kedengeran ke kamar sebelah.
Besoknya, Aldo datang ke pintu kosnya sambil bawa kantong plastik berisi pisang goreng.
“Sebagai permintaan maaf atas tragedi Salah Chat di Malam yang Sunyi, saya menyerahkan donasi gizi ini.”
Naya menatap plastik itu.
“Kalau kamu nambahin ‘Chat Gagal Berbuah Pisang’, ini akan jadi bagian dari arsip hidupku.”
Aldo ketawa, “Deal. Tapi tolong jangan dijadikan cerita di Zoom.”
“Maaf ya, udah masuk episode tiga.”
TAMAT
Hari itu, Naya ngajar daring.
Kelas 9, topik: teks eksplanasi.
Zoom full. 36 peserta. Semua nyalain kamera. Satu siswa sambil makan mi ayam, satu lagi nyender ke dinding kayak tokoh utama film indie.
Naya berbicara sambil share screen:
“...nah, jadi hubungan sebab-akibat dalam teks ini menjelaskan bahwa...”
Tiba-tiba...
Zoom nge-lag.
Lalu mic-nya... MENYALA SENDIRI.
Tanpa peringatan.
Dan saat itulah, dunia mendengar suara Naya berkata—sambil nunduk dan ngomel kecil ke dirinya sendiri:
“Kalau anak-anak ini gak ngerti juga, aku pindah jadi barista aja di pantai Lombok. Cukup. Hidup cukup.”
SILENCE.
Kemudian...
“HAHAHAHAHAHAHAHA”
Salah satu siswa ketawa duluan.
Lalu meledaklah suara tawa kelas 9 seluruhnya.
Salah satu komentar muncul:
💬 “Bu Naya, jangan jadi barista. Nanti saya gak bisa ngisi Google Form.”
Naya langsung freeze.
Tangannya di mouse. Matanya ke layar. Tapi jiwanya sudah di pinggir pantai sambil nge-blend cappuccino pakai air kelapa.
Dia berusaha mengendalikan situasi.
Sambil nyalain mic (kali ini dengan sengaja), dia bilang:
“Iya, maaf ya anak-anak... kadang guru juga punya cita-cita terpendam.”
Lalu siswa favoritnya nyeletuk:
“Bu, asal jangan pindah ke kafe yang sinyalnya jelek. Kami tetep mau lihat presentasinya.”
Sejak hari itu, tiap Zoom kelas 9 dimulai, selalu ada yang tanya:
“Bu, masih pengen jadi barista, nggak?”
Naya tinggal senyum dan bilang:
“Hari ini sih belum. Tapi kalau kalian gak ngerjain tugas lagi, aku mulai buka training latte art.”
TAMAT.
🎙️☕🏖️
(versi mantan sah: Gilang)
Sabtu pagi. Langit mendung, tapi hati Naya cerah.
Dia keluar kos cuma bawa totebag, dompet, dan folder ide konten.
Tujuannya: warung kopi langganan di pojok jalan.
Tempat sederhana, kopi tubruk-nya jujur, dan tahu isi-nya konsisten enak.
Naya duduk di pojok, dekat colokan. Tempat favoritnya.
Baru buka laptop, ada suara familiar dari belakang:
“Masih suka duduk dekat colokan ya?”
Naya kaku.
Gilang.
Mantan yang suka bilang, “Santai, Nay…”, bahkan saat listrik padam dan printer meledak (iya, itu pernah kejadian).
Dia duduk di meja sebelah.
Bukan sengaja. Bukan kebetulan. Entahlah.
Naya pura-pura fokus ke layar.
Gilang pura-pura gak lihat.
Tapi mas-mas warung nyeletuk:
“Eh, mbak ini sekarang sering datang sendiri ya? Biasanya berdua terus tuh dulu…”
Mas... plis... biarkan kami berdua awkward dalam damai 😭
Gilang akhirnya sapa duluan.
“Nay... kabar baik?”
Naya angkat alis.
“Laptop baik. Google Form lancar. Aku... cukup.”
Gilang senyum. Yang dulu bisa bikin Naya lupa pesanan tahu isi.
Obrolan ngalir. Gak ada dendam. Gak ada ‘kenapa’.
Cuma dua orang yang dulu rumah, sekarang saling sapa dari gang samping.
Tiba-tiba, listrik warung mati.
Pemilik warung nyeletuk,
“Wah, PLN drama lagi.”
Gilang ketawa, “Dulu tiap mati lampu kamu suka bilang itu sinyal buat istirahat.”
Naya jawab sambil nyeruput kopi,
“Sekarang aku anggap itu sinyal buat ganti chapter.”
Hujan turun. Deras.
Tapi hati Naya tenang.
Karena saat Gilang pamit, ia tak menoleh.
Dan Naya tetap duduk.
Minum kopi tubruk yang pahitnya pas.
Menulis ide cerita baru.
TAMAT.
☕🌧️📓
Hari itu, Naya niatnya cuma mau clear cache dan beresin Google Drive.
Saking semangatnya, dia bahkan nyiapin playlist khusus bertajuk:
🧹 “Beberes Digital, Beberes Hati”
Dia buka satu folder lama...
Lalu satu lagi...
Dan entah gimana, entah tombol mana yang dia klik terlalu cepat,
tiba-tiba satu folder penting—hilang.
Beneran. Hilang.
Isinya: dokumen sertifikat, bukti karya, semua template, dan draft-draft ide portofolio yang dia rawat sejak awal tahun.
Awalnya, Naya diem.
Lalu dia panik.
Lalu... diam lagi.
Dan pelan-pelan, rasa itu datang:
“Ternyata yang aku rawat baik-baik bisa hilang juga, ya?”
Bukan cuma file. Tapi harapan.
Dan rasa bangga yang ditanam, pupuknya doa, siramannya usaha.
Dia coba klik “Trash” di Drive...
Kosong.
Seperti hati yang gak dikabarin setelah ngasih usaha 100%.
Naya duduk. Tangannya lemas.
Biasanya dia jago ngajar daring, nulis cerpen lucu, ngoding dikit-dikit.
Tapi kali ini dia merasa... kosong.
Bukan karena gak ada file. Tapi karena pertanyaan ini muncul:
“Kalau file itu gak kembali... apakah aku masih Naya yang sama?”
Beberapa menit kemudian, notifikasi muncul:
🟡 “File berhasil ditemukan melalui riwayat aktivitas.”
Naya bisa aja bersorak. Tapi dia hanya tersenyum pelan.
Karena sebelum file itu kembali,
dia sudah menemukan sesuatu yang lebih penting:
Bahwa portofolio bisa hilang. Tapi niat yang ikhlas karena Allah, tidak.
Bahwa karya bisa rusak. Tapi nilai dalam diri, tetap terjaga.
Dan bahwa, kehilangan sementara... bisa jadi bentuk pemurnian niat.
Sore itu, Naya buat satu folder baru.
Namanya:
“Bismillah, Ini Dari Allah”
Lalu ia mulai menyimpan satu persatu,
dengan hati yang lebih lapang,
dan senyum yang tak tergantung lagi pada apa yang bisa hilang.
TAMAT.
🗂️🌾💛
[QUOTE]
"Kalau cerita ini mulai berbelok, itu bukan karena tokohnya jatuh cinta. Tapi karena penulisnya mulai pengen drama."
Hari itu, Naya lagi galau:
mikirin cara ngoreksi tugas murid sambil tetap menjaga mental dan gula darah.
Dia bikin Google Form, rapi, ada keterangan lengkap, batas waktu jelas.
Judulnya:
“Analisis Teks Deskripsi – Kelas 8C”
Batas waktu: Rabu, jam 20.00 WIB.
Pukul 19.57, notifikasi masuk:
📧 “Bu, maaf telat. Ini tugas saya 🙏”
Naya klik...
Dan...
Yang terbuka adalah:
Foto kucing.
Bukan sekadar kucing. Tapi kucing yang lagi rebahan di atas buku Bahasa Indonesia, ekspresinya kayak bilang:
“Buat apa belajar, Bu? Dunia ini sudah cukup absurd.”
Naya cek nama pengirim: Afkar
Siswa paling rajin.
Paling kalem.
Paling nggak mungkin salah file.
Dia ngetik:
“Afkar, ini kamu yakin filenya?”
(Naya kirim ulang foto kucing tadi)
Afkar bales cepat:
“YA ALLAH BUKAN ITU!!! 😭😭😭 ITU FOTO KUCING SAYA YANG MAU DITUNJUKKAN KE TEMAN. SAYA SALAH KLIK!!”
Naya ngakak.
Tapi mencoba tetap profesional.
Dia bales:
“Oke, saya kasih waktu revisi. Tapi kucingnya saya nilai 80. Ekspresi deskriptif, komposisi bagus, dan jelas menggambarkan keputusasaan belajar.” 😎
Besoknya, saat Naya masuk kelas…
Satu anak nyeletuk,
“Bu, kucing Afkar udah masuk ranking belum?”
Dan sejak hari itu, Afkar jadi legenda kecil:
“Orang pertama yang nyetor kucing ke Google Form dan tetap dapet nilai di atas KKM.”
TAMAT.
🐾📝🤣
Pagi itu, Naya lagi rempong.
Dia lagi balesin chat dari wali kelas, sambil bikin kopi, sambil nyetrika jilbab, sambil dengerin voice note dari sahabatnya—Vivi—yang curhat soal kerjaan.
Multitasking level semesta.
Sampai akhirnya Naya pencet tombol mic...
Dan dia ngirim voice note sepanjang 1 menit 36 detik ke Vivi.
Isinya?
Komentar tentang cowok lama yang dulu sempat bikin jantungnya nge-lag
Kalimat pamungkas:
“Tapi ya udahlah, dia juga gak pernah ngerti aku sepenuhnya. Dan aku udah selesai.”
Lalu...
Dua menit kemudian, dia ngeh.
Itu voice note... terkirim ke orang yang dia bicarakan.
📱 Nama kontaknya:
“Gilang - Google Docs (dulu sering bantuin edit)”
Naya freeze.
Dunia freeze.
Kopi di gelas ikutan freeze.
Dia klik voice note itu.
Mencoba berharap:
“Mungkin belum terkirim... mungkin sinyal gangguan... mungkin bisa di-unsend...”
Tapi sudah biru.
Sudah didengarkan.
Sudah telat.
Tiba-tiba... Gilang ngetik.
“Hmm… selesai ya?”
Naya panik.
Dikirim sticker capek.
Dibalas:
“Maaf, itu harusnya buat Vivi. Aku gak bermaksud ngungkit.”
Gilang jawab:
“Gak apa. Jadi aku tahu kamu pernah mikir sampai segitunya. Padahal dulu aku kira aku cuma... numpang nama di folder kamu.”
Naya diem.
Setengah jam kemudian, Gilang kirim satu kalimat lagi:
“Btw, aku belum selesai waktu itu. Tapi aku gak tahu kamu juga pernah nunggu.”
Naya bengong.
Mau nangis? Nggak.
Mau senyum? Nggak juga.
Cuma... detak jantungnya kayak file besar yang loading 87% dan gak kelar-kelar.
Besoknya, Naya nulis di Keep:
🟨 “Kadang voice note yang salah kirim... bisa membuka pesan yang tak pernah terkirim.”
TAMAT.
🎙️📱💔➡️💛
Hari itu Naya habis ngoreksi 112 Google Form dari 3 kelas.
Jemari udah pegal, mata udah kering, tapi dia masih rajin baca satu-satu.
Sampai dia buka satu respon...
Dan di akhir form, ada kolom:
📩 “Saran atau pesan untuk Ibu Naya”
Dan seseorang—entah siapa, karena disetting anonim—nulis ini:
“Bu, saya suka pelajaran Ibu. Tapi kenapa Ibu kelihatan sedih ya akhir-akhir ini?”
“Maaf kalau saya salah.”
Naya kaget.
Klik ulang nama pengirim. Tapi cuma tertulis:
👤 “Responden Tanpa Nama ke-77”
Dia bengong.
Kayak... barusan ada yang ngintip isi ruang hatinya dari celah spreadsheet.
Lalu dia scroll ke bawah.
Responden ke-78.
Komentar:
“Soalnya susah, Bu. Saya belum mandi.”
(oke ini lain urusan 😭)
Tapi otaknya masih nyangkut di nomor 77.
“Kelihatan sedih ya…”
Siapa yang nulis? Anak kelas 8? Yang mana? Yang duduk dekat jendela? Yang pernah nanya tentang Google Sites?”
Malamnya, Naya duduk di kamar.
Laptop mati. Tapi hatinya nyala.
Bukan karena marah, bukan karena bingung. Tapi...
Karena untuk pertama kalinya, ada yang melihat dirinya, bukan cuma materinya.
Dia gak pernah tahu siapa yang nulis komentar itu.
Tapi sejak hari itu, tiap ngisi Google Form, Naya juga nulis di akhir:
🟨 “Hari ini saya ngajar dengan hati sebaik yang saya bisa. Kalau kalian merasa itu belum cukup, maafkan Ibu. Ibu juga sedang belajar jadi lebih tenang.”
Dan setiap form... jadi ruang saling menenangkan.
Bahkan di antara soal pilihan ganda dan kolom esai.
TAMAT.
📄💬💛
Hari Minggu sore.
Naya lagi di depan laptop, ngedit konten modul sambil ngeteh.
Langit mendung, hujan rintik, dan playlist-nya... ya ampun, full galau.
🎧 Judul lagu yang lagi muter:
“Jangan Salah Kirim, Jangan Salah Sayang”
(Versi akustik, biar makin dramatis)
Tiba-tiba notifikasi masuk.
📩 “Bu, ini tugas saya ya. Maaf telat, baru bisa kirim sekarang 🙏”
Naya klik file-nya.
Judulnya udah sesuai: “Analisis Teks Deskripsi - Andi Kelas 8D”
Tapi…
Isinya bukan kutipan teks.
Bukan hasil analisis.
Bukan juga kalimat deskriptif.
Ternyata isinya:
"Kau adalah senja yang tak sempat kupotret…"
"Langit tahu, aku masih menyimpanmu dalam kolom catatan kecil yang tak pernah aku submit."
–A.K.
Naya bengong.
Ditarik napas.
Terus ngetik di WA:
“Andi… ini tugas, bukan unggahan puisi.” 😅
Andi bales cepat:
“YA AMPUN, BU!! Itu buat grup nulis!! BUKAN ITU YANG MAU DIKIRIM!! 😭”
Naya ngakak.
Terus iseng bilang:
“Kalimatmu bagus, sih. Tapi kurang satu: ‘Aku masih menunggumu dalam rubrik analisis struktur paragraf deskriptif’ 😎”
Andi:
“BUUU 😭😭 saya malu banget sekarang”
Tugas benerannya dikirim 5 menit kemudian.
Dan puisi Andi, diam-diam, Naya simpan ke Google Keep.
Bukan karena dia baper.
Tapi karena...
bahkan siswa pun kadang salah kirim perasaan.
Dan tugas yang nyasar... bisa jadi pengingat bahwa mereka juga manusia.
Yang sedang tumbuh. Yang sedang belajar.
Sama seperti gurunya.
TAMAT.
🎵📑💌
Hari Sabtu sore, Naya diminta bantu jadi operator di acara RT:
📣 “Pelatihan Warga Melek Digital: Belajar Google Drive dan Email”
Simple kan?
Modal proyektor, klik-klik dikit, selesai.
Ternyata… tidak semudah itu, Ferguso 😭
Naya datang pakai hoodie, niat bantu, bawa laptop.
Masuk ke aula.
Yang datang?
Ibu-ibu arisan,
Pak RT,
Anak-anak kecil,
Dan... tetangganya yang dulu sempat ngajak jalan bareng ke toko ATK tapi ghosting setelah itu.
Naya senyum. Tapi dalam hati:
“Ya Allah… hari ini kayaknya bukan debug script, tapi debug masa lalu.”
Acara dimulai. Naya buka Google Drive.
Proyektor nyala.
Semua mata ke layar.
Dan tiba-tiba…
🟨 Folder dengan nama: “Draft Cerpen Cinta Absurd - Private Only”
📁 Terbuka sendiri.
Isi filenya:
Judul: “Kenapa Kamu Ngetik Cepat Tapi Bales Chat Lama?”
Paragraf awal:
“Aku tahu kamu lihat notif itu. Tapi kamu pilih diem. Dan sekarang aku ngetik ini sambil ngajar warga RT belajar email.”
SEISI RUANGAN: hening.
Pak RT:
“Wah, ini cerita pengalaman pribadi ya, Mbak?” 😁
Tetangga yang ghosting:
Nunduk sambil batuk-batuk palsu.
Anak kecil:
“Bu Guru nulis cerita cinta!” 🤯
Naya langsung ALT+TAB, tutup semua jendela, buka Google Slide.
“Iya, Bapak Ibu... itu contoh folder yang perlu diatur hak aksesnya. Jangan sampai terbuka ke publik. Seperti tadi.”
(Senyum profesional sambil menangis dalam hati)
Selesai acara, ibu-ibu tepuk tangan.
Pak RT bilang:
“Hebat, Mbak Naya. Teknologinya hidup banget!”
Naya pulang sambil gendong laptop.
Di jalan, tetangga yang ghosting bilang:
“Cerita tadi... lucu juga. Kalau nanti butuh ide lanjutan, kabarin ya.”
Naya jawab:
“Tenang. Karakter kamu udah aku bunuh di bab 3.”
(Senyum.)
TAMAT.
📽️💔😂
Undangan itu datang mendadak.
Teman kuliah yang udah lama gak nongol di grup WA, tiba-tiba ngundang ke nikahan di kampung sebelah.
Naya niatnya cuma mau hadir sebentar, bawa amplop, duduk di pojok, lalu pulang tanpa diketahui siapa pun.
Lowkey guest style.
Dia datang pakai rok panjang, blouse kalem, dan ekspresi “tolong jangan ajak aku ngobrol terlalu dalam.”
Baru lima menit duduk,
seorang panitia panik mendekat:
“Mbak! Mbak Naya kan dulu penyiar kampus ya? Bisa bantu jadi MC sebentar aja gak? Yang cowok mendadak sakit perut!”
Naya:
“HAH?? Saya cuma tamu!!!”
Panitia:
“Pas banget berarti, tamu yang langsung jadi bagian dari kenangan.”
(Boleh juga nih tagline 🤔)
Naya diseret ke depan. Dikasih mic. Dikasih rundown. Dikasih senyum panik.
Baru mau buka mulut...
tiba-tiba dari arah katering muncul Gilang.
Iya.
Gilang.
Mantan editor Google Docs. Mantan voice note salah kirim.
Dan sekarang... lagi dorong kereta saji.
(Dia ternyata volunteer bagian logistik — katanya bantu-bantu sepupu.)
Mata mereka ketemu.
Naya refleks noleh ke layar rundown.
Gilang senyum sambil ngetik di HP.
Detik berikutnya: notif masuk ke ponsel Naya.
📲 Gilang:
“Tenang, aku gak bakal bikin keributan. Aku cuma mau bilang… kamu cocok pegang mic. Tapi jangan pegang hatiku lagi ya.”
(Smile emoji.)
Naya:
BISA. GILANG. STOP. GITU. AJA. GAK? 😩
Tapi Naya pro.
Dia buka acara dengan senyum:
🎙️
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat datang di hari bahagia…
...yang jadi sedikit panik karena MC-nya dadakan dan mantan nongol sambil dorong sayur asem.”
Tamu-tamu: 🤣👏🏼
Gilang: nunduk sambil pura-pura ngeratain sendok.
Selesai acara, Gilang nyamperin.
“Nay, kamu tetap lucu. Bahkan di pelaminan orang.”
Naya:
“Dan kamu tetap muncul di saat yang paling bikin sinyal hati putus-putus.”
Gilang:
“Yaudah. Nanti kalau aku nikah, kamu jadi MC juga ya?”
Naya jalan sambil jawab pelan:
“Boleh. Tapi file rundown-nya aku delete setelah acara.”
TAMAT.
🎤💐👀
Hari itu, Naya diundang ke acara pelatihan digital literacy nasional.
Tema: “Integrasi Teknologi dalam Pembelajaran yang Manusiawi”
Tempat: Aula Universitas.
Kondisi: AC dingin. Hati… belum siap.
Naya masuk aula, cari tempat duduk pojok.
Sampai panitia datang:
“Mbak Naya, boleh gabung di kursi peserta undangan utama ya? Baris depan. Sudah kami siapkan.”
Naya:
“Oke…”
(Dalam hati: “Please jangan ada kejutan hari ini. Please.”)
Dia duduk.
Lalu melirik ke sebelah kanan…
📍 Gilang.
Lagi-lagi.
Kemeja biru. Duduk santai. Senyum kayak gak pernah ngedit folder curhat.
“Eh, Naya. Kamu juga diundang?”
“Kamu di sini sebagai…?”
“Pengamat. Kadang mantan. Kadang figuran utama.” 😏
Naya pura-pura buka catatan.
Padahal dokumen di laptopnya: draft cerpen berjudul “Kenapa Mantan Sering Nongol Saat Kita Udah Move On Setengah Jalan?”
Lalu…
Panitia nyebut:
🎙️
“Pembicara kita hari ini: Bapak Reza Ananda, S.Kom., M.T. — dosen muda dari Fakultas Teknik Informatika yang akan membahas AI dalam Pendidikan Personal.”
Dosen itu naik panggung.
Muda.
Kalem.
Senyumnya kayak font Montserrat SemiBold Italic. Tegas tapi lembut.
(APAAN NAY 😭)
Naya catat poin-poin penting. Tapi dia gagal fokus.
Karena Reza Ananda ngomong:
“Pendidikan digital itu bukan cuma soal klik dan unggah. Tapi soal bagaimana kita menyimpan perasaan dalam format yang aman—tanpa perlu takut crash.”
Gilang nyolek pelan:
“Kamu catet itu gak, Nay?”
Naya jawab sambil bisik:
“Aku gak sempat nyatet, karena otakku lagi kayak Wi-Fi rebutan bandwidth.”
Setelah sesi selesai, semua peserta diajak diskusi kelompok.
Tebak siapa yang satu tim?
Naya, Gilang, dan Reza.
Reza tanya:
“Mbak Naya, saya baca tulisan Ibu di blog sekolah. Kayaknya pendekatannya cocok sekali dengan AI yang berempati.”
Gilang (dengan lirikan geli):
“Dulu dia juga berempati waktu ngedit Google Docs. Tapi sekarang lebih jago nulis curhatan ber-API.”
Naya mau meledak.
Setelah diskusi, Reza ngasih kartu nama.
“Kalau Ibu Naya butuh kolaborasi riset atau pelatihan guru berbasis AI, saya sangat terbuka.”
Gilang:
“Saya juga terbuka. Untuk bantu debug masa lalu kalau perlu.” 😎
Naya pulang.
Bawa dua nama.
Satu dari masa lalu.
Satu dari presentasi yang terlalu ganteng.
Malamnya, Naya tulis di Google Keep:
🟨 “Kalau ini serial, aku mau izin skip satu episode. Hatiku belum siap buffering dengan dua jaringan sekaligus.”
TAMAT.
🤖💻😳
Hari itu, Naya ngajar jam pertama.
Bawa semangat. Bawa spidol baru.
Masuk kelas, langsung nulis:
📝 “TEKS DESKRIPSI”
📝 “Objek: Suasana Pasar Tradisional”
Lancar. Cantik. Tegas.
Tapi pas selesai, dia sadar...
TULISANNYA TIDAK BISA DIHAPUS.
Naya panik.
Ambil penghapus. Gosok.
Tinggal goresan putih. Tulisan tetap duduk di papan kayak dosen pembimbing yang ngotot salahin metode.
Tiba-tiba Pak Asep, guru PJOK, lewat.
Lihat papan. Ngakak.
“Lho itu mah spidol permanen, Bu Naya! Itu yang saya beli buat pelatihanku minggu lalu! Gak sengaja ketukar!”
Naya bengong.
“Pak Asep… kenapa spidol permanen bisa masuk ke laci guru Bahasa?”
Pak Asep:
“Saya kira laci itu umum. Kan kita semua sama-sama mengajar dengan cinta.”
Naya dalam hati: “Tapi cinta yang ini gak bisa dihapus, Pak.” 😭
Anak-anak kelas 8D malah heboh:
“Bu, tulisannya jangan dihapus! Buat kenang-kenangan!”
“Nanti kita foto yaa, bu. Caption-nya: Tinta yang tak terhapus, seperti rasa yang pernah ada.”
Naya:
“STOP IT. SEMUA.”
Akhirnya, solusi datang:
Ibu guru IPA bawa alkohol 70%.
“Nih, Bu. Ini bisa bantu hapus. Tapi jangan dicoba ke mantan.”
Naya ngerasa hari itu bukan kelas Bahasa. Tapi...
kelas survival antar guru.
Di ruang guru, Bu Erni dari BK bilang:
“Saya heran, kenapa spidol permanen selalu jadi pelajaran hidup di sekolah?”
Pak Asep jawab sambil makan gorengan:
“Karena hidup juga kadang ninggalin bekas, Bu. Kayak tanda tangan di buku absen.”
TAMAT.
📚🖊️😂