"Hidup itu seperti menu kopi—ada yang kita pesan, ada yang datang tiba-tiba. Yang penting, kita siap meneguknya sampai habis."
_di Kopi Tiam_
"Kopi hanya alasan. Yang sebenarnya kami jual di sini adalah rahasia orang."
Pagi di Kopi Tiam Makmur Jaya selalu dimulai dengan suara Baba Ah Lek yang bisa terdengar sampai ujung jalan. Nada suaranya tegas, semangat, tapi ramah—mirip pedagang ikan di pasar yang memanggil pembeli langganannya.
“Kopi! Teh! Susu! Camilan Nyah Lim bikin loh—bukan TikTok bikin!”
"Kopi, Ba." seorang pelanggan masuk sambil mengambil koran. Satu-satunya toko di distrik itu yang masih jual koran di tengah serangan digital. Ia duduk di pojok, yang di belakangnya Nyah Lim biasa menggoreng pisang. Hawanya panas, tapi wangi vanilla. Cuma kali ini pisangnya belum digoreng. Pesanan pisang nipah belum sampai-sampai juga. Bikin Nyah Lim mudah sensi pagi-pagi.
Hari itu, seperti biasa, Baba mengenakan kaos oblong putih bertulisan merah menyala. Tulisan hari ini: "Hidup itu Seduh Dulu, Ribut Belakangan". Kemarin tulisannya: "Ngopi Bukan Ngerumpi". Dua pekan sekali tulisannya ganti. Baba bilang itu cara dia “ganti suasana” tanpa harus ganti warna baju.
Nyah Lim, istrinya, berada di belakang etalase kue. Tangannya cekatan menyusun onde-onde, kue ku, karipap, dan minus pisang goreng. Aromanya bercampur dengan wangi kopi tubruk yang diseduh Baba, menciptakan suasana khas warung kopi Tionghoa lama. Meski warungnya bernuansa klasik—meja kayu reot tapi bersih, kursi seng berderit—menu mereka aman disantap muslim.
Warung itu jarang ramai. Tapi, anehnya, tidak pernah benar-benar sepi. Ada saja pelanggan tetap yang datang, entah untuk menyeruput kopi, membaca koran, atau sekadar mengobrol sambil mengisi waktu.
Salah satu yang paling sering terlihat adalah Kamal. Lelaki kurus, hampir 40, dengan mata yang sedikit sayu. Mantan karyawan pabrik roti yang kena PHK tiga bulan lalu. Sejak itu, Kopi Tiam menjadi “kantor” barunya.
Setiap pagi, Kamal duduk di pojok dekat rak koran yang masih dijual Baba. Dari situ, ia bisa membaca berita, memantau lowongan kerja, atau mencuri dengar obrolan pelanggan lain. Kadang ada yang menyebut info loker di pabrik kelapa sawit. Kadang ada yang ngajak buka lahan bersama. Kadang ada yang bilang mau bantu modal usaha. Tapi semuanya hanya berhenti di kata-kata.
Hari ini, Kamal sudah memesan kopi kelima. Tangannya gemetar sedikit, entah karena kafein atau karena pikirannya yang semakin kalut. Baba, yang sedang mengaduk teh tarik untuk pelanggan lain, melirik sekilas.
“Waduh, Kamal… kamu ni minum kopi atau mau mandi kopi? Lima cangkir, banyak kali!”
Kamal tersenyum kecut, “Biar nggak ngantuk, Ba.”
Nyah Lim menyela dari balik meja kue, “Ngantuk itu tanda orang bosan hidup. Jangan bosan lah.”
Kamal tersenyum hambar. Pikirannya melayang ke janji-janji manis yang tidak pernah jadi kenyataan. Teman yang bilang mau ajak investasi sawit, tapi tiga bulan ini tak ada kabar. Tawaran kerja yang menguap. Bantuan modal yang katanya “tunggu cair” tapi tak pernah turun. Semua hanya se-manis susu kental manis—yang, kata Baba, “gula doang, susu kagak ada.”
"Kawanmu yang biasa ikut nongkrong, yang katanya ngajak buka lahan sawit itu ke mana, Mal?" tanya Baba masih sambil didihkan air di dandang besar.
Kamal ngeluh duluan baru jawab, "biasa, Bah. Cuma obrolan di warung kopi doang. Bukan obrolan staf direksi. Jadi, ilang gitu aja. Gak jadi kayaknya." Kamal sambil bolak-balik koran nyari edisi loker.
Lama-lama bahunya terguncang. Koran di tangan diremas perlahan, kemudian mengepal kencang. Babah mematikan kompor gas. Nyah Lim duduk di kursi melihat Kamal. Dalam kondisi begitu, Nyah Lim yang biasanya ngomelin Babah, bertugas menjadi penyeimbang suasana. Jika Babah sedang jadi orang penting seperti saat itu, Nyah Lim bertugas sebagai pelaksana tugas sementara, kalau-kalau ada yang pesan kopi pancung.
Melihat Kamal murung, Baba menaruh lap di bahu dan duduk di sebelahnya. Diremasnya pundak Kamal. Agak keras memang. Masuk angin.
"Sabar, Mal," ucap Baba lirih. Biasanya suaranya kayak kernet, sekarang kayak Mario Teguh. Bisa disetel emang.
"Mau, Bah! Mau saya sabar, Bah. Kalau biaya hidup, ngelamar anak orang, ngirim duit ke orang tua saya di kampung bisa dibayar dengan sabar, saya sabar saya, Bah. Mau, Bah!" katanya bahkan dengan susunan kalimat yang cepat akibat emosi menekan dada.
Suara bengkel di sebelah sudah terdengar. Satu motor sedang dipanaskan. Sepanas dada Kamal kala itu.
Ia masih melanjutkan sambil air matanya meleleh tak bisa ditahan. Tak peduli ia laki-laki, ia tak peduli menangis macam anak kecil begitu. Cuma di Kopi Makmur Jaya, ia rela menangis tanpa merasa malu. lagipula rasanya memang sudah jengah. Mau menyalahkan takdir, tapi tidak boleh. Jadinya hanya mampu menangis. "Bukan salah saya, kenapa saya di PHK? Mereka memuji kerja keras saya luar biasa. Bilang kalau saya adalah karyawan mereka paling loyal dan hebat. Tapi, buktinya ketika mereka tidak mampu mengupah 20 orang, kenapa saya yang dipecat? Kenapa tidak anak-anak muda yang baru masuk itu?"
"Bingung juga aku mau ngomong apa, Mal. Pengen nyalahin perusahaanmu itu, kamu udah di pecat," ucap Babah. "Kalo boleh, Babah mau cerita."
Babah udah mulai tukar edisi story telling, pikir Nyah Lim.
“Kamal, Baba sama Nyah ni buka warung gak langsung langsung kaya? Eh, dulu Baba ni jual roti keliling. Pernah kena tipu supplier. Modal habis, tinggal panci. Nyah Lim makan bubur seminggu penuh."
Mendengar itu, Nyah Lim ikut duduk di depan Kamal.
“Aku dulu jual kain di pasar. Tiba-tiba ada toko baru, pasang diskon gila-gilaan. Dagangan nggak laku, modal nyangkut. Kita jatuh… bukan sekali, tapi berkali-kali," sambung Nyah Lim.
“Tapi kami pikir, kalau pintu depan nggak dibuka orang, kita bikin pintu samping. Kalau pintu samping nggak ada, ya pintu dapur pun jadi. Yang penting bisa keluar lagi.”
Kamal menatap meja. Matanya mulai berkaca-kaca. Kata-kata Baba sederhana, tapi tepat di sasaran.
“Saya capek, Ba. Rasanya semua jalan buntu. Orang janji bantu, tapi nggak ada yang benar-benar bantu. Saya… bingung mau kerja di mana.”
Nyah menepuk bahunya, “Gak usah ke mana-mana, kalau begitu, Mal. Kalo ngelamar kerjaan sulit, kau bikin kerjaanmu sendiri, macam Baba.”
Hening sejenak. Di luar, hujan mulai turun, menimbulkan aroma tanah basah yang merembes ke dalam warung. Kamal menghela napas panjang.
“Mungkin… saya pulang saja, Ba. Ke kampung. Bantu orang tua di kebun. Buka warung kecil di depan rumah. Jual kopi, pisang goreng…”
“Nah! Itu baru kopi yang betul—kopi yang bikin orang hidup, bukan cuma melek.”
Kamal tertawa di sela tangisnya. Suara hujan makin deras. Nyah berdiri, mengambilkan bungkusan.
"Tapi minta resep kopi dan pisang gorengnya, boleh gak Bah, Nyah Lim?" mata Kamal yang memang sudah meleleh, kini keliatan lucu karena basahnya berbinar-binar campur ngarep level tinggi.
"Tentu saja. Anggap aja aku buka cabang di kampungmu," celetuk Babah.
“Bawa ini. Gratis. Biar pulangnya manis, tapi ada isinya. Beda sama susu kental manis itu," sambung Nyah Lim ngasih sekantong bubuk kopi yang dibungkus kertas bercap Jaya Makmur since 1986.
Kamal menerima dengan senyum tulus. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, langkahnya terasa ringan saat meninggalkan warung. Ia memang belum tahu akan seperti apa masa depannya, tapi setidaknya ia tahu pintu mana yang akan ia buka.
Saat itu yang biasa nyetok pisang nipah di warung kopi tiam Makmur Jaya, datang bawa sekeranjang pisang. Nyah Lim menyambut dengan bahagia. Tidak pernah sebahagia ini. Bisa jadi karena pisang goreng adalah signature warung kopi Makmur Jaya, jadi juga dijual; atau bisa jadi semangat baru Kamal yang bikin rasanya sebahagia itu.
Mendadak Nyah Lim ngomel smabil melihat cap di bungkus kopi. Yang bungkus itulah digunakan buat ngebungkus kopi buat modal Kamal usaha di kampung.
"Ba, ini ganti lah cap nya. Terbalik, meh. Toko kita Makmur Jaya apa Jaya Makmur?"
☕ "Jangan cuma mengetuk, bangun pintumu sendiri dan bawa kuncinya."
_di Coffee Shop_
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Pagi itu hujan tipis membentuk lapisan bening di kaca depan Sanaa Brew. Lantai atas penuh pekerja muda, freelancer, dan beberapa meja yang sudah dipesan untuk meeting kecil. Sedangkan lantai bawah yang jauh lebih bright dari lantai atas, biasanya lebih lengang dan ceria; meski tidak berisik. Sejumlah taman mengisi sudut-sudut kafe yang membuat pengunjung yang hanya ingin melamun sambil minum air putih pun, tidak akan merasa bersalah.
Kafe ini konsepnya fancy dengan dua nada terpisah lantai atas dan lantai bawah. Lantai atas sering diisi budak-budak korporat atau bahkan pimpinan direksi yang sedang meeting. Sedangkan lantai bawah, lebih suka digunakan oleh pelanggan yang ingin minum sambil santai dan menikmati vibe Sanaa Brew yang healing banget.
Aroma espresso dan croissant panggang menyatu dengan denting lembut sendok mengenai cangkir. Di sudut bar, poster mingguan terpampang rapi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” — hadis riwayat Thabrani, dinilai hasan. Di depan mesin kopi itu lah, pemiliknya, Bang Andara, duda beranak satu, menjalankan kafe ini dalam setahun, sedang mempersiapkan bar pagi itu. Bersih, elegan, aroma old money kuat, gak suka berisik, dan gak suka utang. Kepribadiannya menular di konsep kafe yang ia bangun.
Ia mempekerjakan satu orang barista tetap. Kadang-kadang ia nyambi jadi barista atau kasir. Kadang juga anaknya pas tidak ada tugas sekolah menjadi barista yang handal juga. Selain barista, ia juga mempekerjakan dua pelayan dan satu pastry chef. Semuanya laki-laki. Hal ini juga tanpa ia sadari menjadi daya tarik para perempuan yang mendadak fomo ngopi, padahal cuma mau mejeng.
Termasuk Bang Andara yang menjadi ikon, pengusaha muda nan mapan di distrik itu. Perempuan-perempuan lajang, bahkan tak jarang, ibu-ibu bersuami pun sengaja ke kafe ini bukan buat ngopi, tapi nyambi ngopi. Niat aslinya buat ketemu Bang Andara. Mereka tidak tahu, kalau Bang Andara anti di flirting dengan cara non halal.
Hanya saja, Andara tidak sadar ia se-magnetic itu. Ia hanya sibuk menyelami rutinitasnya sambil bersyukur. Sesekali berdakwah melalui poster yang sering ia ganti setiap pekan. Kalau sedang tidak banyak keuntungan, diganti bulan depan.
Ia melirik arloji.
Tepat ketika seorang perempuan, 25 tahun, Nadia namanya, baru 5 bulan sebagai akuntan sebuah perusahaan logistik, yang bangunannya persis di seberang Sanaa Brew.
_12.00 pm_
Jam Nadia istirahat.
Ia memesan dolce coffee dengan double shoot. Padahal ia belum sarapan.
Duduk di pojok dekat taman Calathea. Membuka laptop 16 inchi. Pasang headphone. Kemudian fokus.
Notifikasi panggilan masuk memotong fokus Nadia. Nama Riska – Finance muncul di layar. Ia menarik napas, lalu menjawab, “Halo, Risk.”
Suara di seberang terdengar agak tegang. “Nad, laporan bulan lalu nggak balance. Ada selisih hampir tiga juta”
Mau meledak, tapi ia sedang di tempat umum. Mau marah-marah ke Riska, dianya lebih junior. Nadia jadi kesal kenapa penjelasan mengenai format tabelnya saja ngambang. Ia bahkan sudah menawarkan, ya istilahnya aplikasi mempermudah ngitung data di gudang sama yang dipasarkan, ditolak oleh perusahaan. Tapi Riska ngotot pake format lama yang di mata Nadia, ribet.
_Tuh, buktinya gak balance_
Ia sadar jika gerutu dalam hati, tidak membuahkan hasil. Kopi pun ia sedot, lalu memutar kepalanya. Saat itu Abdullah, anak bujang Bang Andara baru pulang sekolah. Ia langsung ambil apron jadi barista.
Celoteh ibu-ibu muda terdengar di telinga Nadia dari meja sutomer sebelah.
"Tuh, liat. Sebiji sama bapaknya. Ganteng banget Abdullah," celetuk Ibu 01.
"Mana anaknya kalem lagi, tuh," sambung Ibu 02.
"Anak orang kaya. Jadi beda lah sama anak-anak SMA di sini. Beda harga, beda vibe," puji Ibu 03.
Total ada tiga ibu-ibu.
Obrolan itu membuat Nadia menarik perhatian dari data experse ke Abdullah yang sedang giling kopi robusta. Obrolan yang rasanya persis seperti pijatan di tengkuknya yang menegang dari tadi.
Nadia menatap layar laptopnya lagi, rasa lelah mulai menggerogoti kesabaran. Laporan yang tak balance, format tabel yang bikin pusing, dan panggilan dari Riska yang terdengar menekan—semua seolah menumpuk di pundaknya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Ya udah, tetap profesional,” gumamnya. “Ikutin aja semua, meski rasanya berat.”
Dengan rasa penasaran yang terus menggantung, Nadia memutuskan untuk memesan machiatto boba lagi. Kali ini ia ingin mencoba racikan Abdullah—barista muda yang selama ini ia pikir jago, bahkan bisa menandingi barista utama, Bang Agus.
Abdullah tersenyum sopan saat menerima pesanan. “Machiato boba, Mbak, dari saya ya,” ucapnya. Nadia mengangguk, memperhatikan setiap gerakannya.
Tak lama, Bang Andara menghampirinya. “Mbak, jangan terlalu memuji dulu, ya. Abdullah masih belajar. Lebih baik Mbak coba kedua racikan kopi, dari dia dan Bang Agus, biar bisa dibandingkan,” sarannya.
Nadia mengangguk, penasaran sekaligus antusias. Tak lama, dua cangkir machiatto boba diantar: satu dari Abdullah, satu dari Bang Agus. Ia mencicipi yang racikan Abdullah dulu—lezat, tapi ada sesuatu yang terasa kurang. Lalu ia mencoba yang dari Bang Agus… rasa kopinya lebih seimbang, aroma lebih kaya, tekstur boba pas.
Matanya terbuka lebar. “Oh… ternyata…,” gumam Nadia pelan. Ia tersenyum tipis. Insight itu menghampiri tanpa suara: tak semua yang terlihat menjanjikan memang yang terbaik. Ada proses, ada pengalaman, ada waktu.
Ia menatap kedua cangkir kopi itu, meresapi maknanya. Tidak perlu memaksakan diri untuk menyelesaikan semua pekerjaan sekaligus. Yang penting, kerjakan sesuai kemampuan dan bidang masing-masing. Seiring waktu, dengan latihan dan pengalaman, kemampuan akan berkembang. Tidak perlu menuntut diri harus mampu menguasai segalanya sekaligus.
Jam istirahat hampir habis. Nadia menutup laptopnya, menyeruput sedikit machiatto terakhir, lalu bergegas kembali ke kantor. Dengan kepala lebih ringan, ia menghubungi Riska.
“Halo, Risk,” kata Nadia. Suaranya lebih tenang daripada sebelumnya. “Untuk laporan bulan lalu… bisa nggak tunjukin bagian mana yang perlu diperbaiki? Kalau sulit, aku jujur belum mampu mengerjakannya sendiri, dan minta bimbingan.”
Di seberang, Riska terdengar terkejut, tapi kemudian mengangguk setuju. “Oke, Nad. Aku tunjukkan, kita kerjain sama-sama.”
Nadia tersenyum tipis. Hari itu, ia belajar bahwa profesionalisme bukan soal mengiyakan semuanya atau menanggung beban sendirian, tapi tentang mengenali kemampuan sendiri, meminta bantuan saat perlu, dan membiarkan proses membentuk diri.
Ketika pintu kaca depan menutup, berdatangan juga beberapa pelanggan lain dengan membawa beragam kisah lainnya. Beriringan dengan Abdullah yang menyela waktu istirahatnya dengan melihat video youtuber tentang kopi. Bang Andara di meja kasir menyoroti anaknya dengan senyuman bangga.
☕ "Seperti kopi terbaik, kemampuan juga butuh waktu untuk matang. "